Pembentukan Panitia Pengumpulan Al-Qur'an. Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam.
Sayabukan ustadz. Saya hanya seorang "truth seeker" yang suka menulis. Semoga Allah meluruskan niat saya menulis hanya karena Allah, dan bukan karena yang lain. Tulisan ini pun request dari seseorang (yang dekat) yang bertanya pada saya mengenai temannya, yang memiliki pertanyaan unik mengenai Al-Qur'an. Tentang mengapa ayat Al-Qur'an sering kali sulit dimengerti?
Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al- Qur'an seperti ini seringkali muncul, karena dalam perjalanannya Al-Qur'an dalam 4 Syarif. Jadi ketika para sarjana muslim berbicara tentang jām' al-qur'ān pada masa Nabi, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya adalah pengumpulan wahyu-wahyu yang diterima Nabi melalui
Penafsiran sahabat yang merupakan kategori tafsir riwayah adalah penjelasan sahabat berkaitan dengan asbabun nuzul ayat al-Qur'an, berita gaib tentang masa lalu (kisah para Nabi dan orang saleh
HikmahKeluarga Imran Tercatat Abadi Dalam Quran. Hari Ini Generasi Muda Mudah Hafal Al Quran, Tapi Sulit Mengamalkannya. Tak Hanya Islam Haramkan Zina, tapi Juga Yahudi Asli dan Nasrani. Empat Waktu Terbaik Membaca Ayat Kursi. Sejarah Singkat Penulisan Alquran sejak Awal Masa Kenabian Arab hingga Sempurna.
Keutamaan menghafal al-Qur'an: pertama, al-Qur'an sebagai pemberi syafa'at pada bagi pembaca, memahami dan mengamalkan; kedua, penghafal al-Qur'an telah dijanjikan derajatnya oleh Allah
. Karena Suatu Hal Yang Membuat Admin Ini Harus Membuat Blog Baru. Maka Dari Itu Mohon Maaf Dan Mohon Kerja Samanya. Bahwa Halaman Ini Akan Kami Redirect/Alihkan Ke Blog Lain. Namun, Isinya Akan Tetap Sama. Jadi Ini Bukan Coppas, Hanya Saja Admin Memindahkannya Ke Blog Lain. Terimkasih Atas Pengertiannya... 30 soal dan jawaban tentang al qur'an - didalam artikel ini membahas tentang masalah-masalah yang harus dipelajari dalam al-Quran Yang telah kita ketahui, bahwa al-qur'an adalah kitabnya umat islam. Kitab Al-qur'an wajib dipelajari oleh setiap umat islam. Untuk lebih lanjut mengenai soal dan jawabannya silahkan baca dan pahami penjelasan dibawah ini. A. Pengertian Al-Quran Sebagai Wahyu 1. Jelaskan pengertian Al-Quran secara bahasa dan istilah! Jawaban Al-Quran secara berasal dari kata قرٲیقرٲ قراءةوقرٲنا yang berarti bacaan atau cara membacanya. Adapun secara istilah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ali As-Shabuni Al-Quran adalah kalam Allah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Rasul terakhir dengan perantara malaikat terpercaya, yaitu Jibril AS, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah yang dimuai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas. 2. Jelaskan pengertian wahyu secara bahasa dan istilah! Jawaban Wahyu secara bahasa merupakan bentuk mashdar yaitu Al-Wahy yang berarti tersembunyi dan cepat, ada juga yang mengatakan wahyu merupakan bentuk maf’ul Al-Muha yang berarti yang diwahyukan. Secara istilah wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada orang yang dipilih dari beberapa hambanya mengenai beberapa petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak diberitahukannya tetapi dengan cara yang tidak biasa, baik melalui perantaraan ataupun tidak. 3. Sebutkan tiga nama Al-Quran beserta dalilnya! Jawaban Al-Furqan artinya pembeda tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 1 Adz-Dzikr artinya pemberi peringatan tercantum dalam surat Al-Hijr ayat 9 At-Tanzil artinya yang diturunkan tercantum dalam surat Asy-Syu’araa ayat 192 4. Jelaskan pengertian hadits qudsi dan hadits nabawi! Jawaban Hadits qudsi adalah khabar atau berita yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi kemudian Nabi menyampaikan ma’na dari khabar tersebut dengan redaksinya sendiri. Hadits nabawi adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat Nabi. 5. Jelaskan tiga perbedaan antara Al-Quran dan Hadits qudsi! Jawaban Al-Quran dari Allah, baik lafadz maupun ma’nanya. Sedangkan hadits qudsi ma’nanya saja dari Allah, sedang redaksinya dari Nabi SAW. Membaca Al-Quran merupakan ibadah dan memperoleh pahala dari Allah. Sedangkan hadits qudsi apabila dibaca bukan merupakan suatu ibadah dan tidak memperoeh pahala dari Allah. Seluruh isi Al-Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah muthlaq qah’i ats-tsubut. Sedangkan hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan zhanni ats-tsubut. Baca juga Latihan soal Al-quran B. Nuzul Al-Quran 1. Jelaskan arti kata Nuzul Al-Quran menurut Imam Ar-Raghib Al-Ashfihani dalam kitabnya Al-Mufradat! Jawaban Imam Ar-Raghib Al-Asfihani dalam kitabnya Al-Mufradaat, kata Nuzul itu mempunyai arti Al-Inhidar min Uluwwin Ila Safalin meluncur dari atas ke bawah, atau berarti turun.Dengan demikian Nuzul Al-Quran adalah turunnya Al-Quran. 2. Sebutkan tiga tahapan turunnya Al-Quran! Jawaban Tahap pertama atau At-TanazzuluAl-Awwalu, terjadi secara jumlatan wahidatan atau menyeluruh yaitu diturunkan oleh Allah ke Lauhil Mahfudz. Tahap kedua atau At-Tanazzulu Ats-Tsani, terjadi juga secara jumlatan wahidatan dari Lauhil Mahfudz diturunkan ke sebuah tempat di samaa’i ad-dunya atau langit dunia yang bernama Baitul Izza. Tahap ketiga atau At-Tanazzulu Ats-Tsalits yaitu dari Baitul Izza melalui malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW secara tadarruj yaitu berangsur-angsur atau munajjaman bittanjih yaitu sedikit demi sedikit. 3. Sebutkan hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur! Jawaban Menguatkan dan mengukuhkan hati Rasulullah SAW Mudah dipahami dan dihafal Sesuai dengan lalu lintas peristiwa atau kejadian Orang-orang mu’min antusias dalam menerima Al-Quran dan giat mengamalkannya. 4. Ayat dan surat apa yang pertama kali dirurunkan kepada Nabi Muhammad? Jawaban Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pertama, ada yang mengatakan bahwa surat yang pertama kali diturunkan adaah surat Al-Alaq ayat 1-5. Kedua,ada yang mengatakan surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Mudatsir. Untuk memadukan dua pendapat yang berbeda ini, para ulama mengatakan bahwa yang pertama kali turun untuk menyatakan kenabian adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 sedangkan yang pertama kali turun untuk menyatakan kerasulan adalah surat ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah surat Al-Fatihah. Keempat, ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah bacaan Basmalah, karena bacaan basmalah selalu ikut turun mendahului setiap surat. 5. Ayat dan surat apa yang terakhir kali dirurunkan kepada Nabi Muhammad? Jawaban Dikatakan bahwa ayat yang terakhir itu adalah ayat riba, yaitu surat Al-Baqarah ayat 278. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir itu adalah surat Al-Baqarah ayat 281. Kedua riwayat itu bisa dipadukan, yaitu bahwa pihak kedua ayat tersebut diturunkan sekaligus seperti urutannya dalam mushaf. Ayat mengenai riba dan ayat mengenai hutang masih satu kedua ayat ini tidak saling bertentangan. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir itu adalah surat Al-Maidah ayat 3. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir itu adalah surat At-Taubah ayat 128. C. Makiyyah Madaniyyah 1. Sebutkan empat kriteria dalam mendefinisikan ayat/surat makiyyah dan madaniyyah! Jawaban Menitik beratkan perhatiannya kepada tempat turunnya suatu ayat. Menitik beratkan perhatiannya kepada khittab/seruan/panggilan dalam ayat itu. Menitik beratkan perhatiannya kepada masa turunnya ayat. Menitik beratkan perhatiannya kepada apa yang dikandung/isi dari ayat/surat tersebut 2. Sebutkan ciri-ciri khusus ayat makiyyah! Jawaban Didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah. Contoh surat Al-A’raf ayat 206. Didalamnya terdapat cerita-cerita para nabi dan umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Maidah Didalamnya berisi ajaran-ajaran tauhid atau aqidah mendasar tentang mengesakan Allah. Kebanyakan surat dan ayatnya pendek-pendek, karena menggunakan bentuk i’jaz. 3. Sebutkan ciri-ciri khusus ayat madaniyyah! Jawaban Didalamnya berisi hukum-hukum pidana. Didalamnya berisi hukum-hukum faraidh atau ilmu waris. Didalamnya berisi hukum-hukum ibadah. Seperti shalat, zakat, puasa, haji dsb. Didalamnya berisi hukum-hukum mu’amalat. Seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai dsb. 4. Sebutkan faidah mengetahui makiyyah dan madaniyyah! Jawaban Dapat dijadikan alat bantu dalam menfsirkan Al-Quran Dapat mengetahi uslub/gaya bahasa yang berbeda-beda, karena ayat-ayat itu ditujukan kepada golongan yang berbeda-beda. Dapat mengetahui sejarah hukum islam dan tahapannya yang bijaksana secara umum. 5. Sebutkan jumlah pengelompokan surat makiyyah, madaniyyah menurut Abdullah Syahhatah! Jawaban Abdullah Syahhatah mengatakan bahwa surat yang disepakati ulama sebagai surat makiyyah ada 82 dan yang disepakati surat madaniyyah ada 20, sedangkan yang 12 surat lagi masih diperselisihkan status makiyyah dan madaniyyahnya. D. Asbab An-Nuzul 1. Sebutkan pengertian Asbab An-nuzul menurut Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan fii Ulumil Quran! Jawaban Sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Quran sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi. 2. Menurut Syekh Mana’ Khalil Al-Qathan ada dua hal yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran, sebutkan dua hal tersebut! Jawaban Pertama, karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau keputusan, maka turunlah ayat Al-Quran. Kedua, karena adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, maka turunlah ayat Al-Quran. 3. Sebutkan kegunaan adanya Asbab An-Nuzul Jawaban Membantu menghilangkan kesulitan-kesulitan dalam memahami suatu ayat Membantu mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran diturunkan. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat Al-Quran 4. Apakah setiap ayat atau surat mempunyai Asbab An-Nuzul? Jawaban Dalam buku yang disusun oleh syekh Mana’ Khalil Qathan disebutkan bahwa tidak semua ayat atau surat mempunyai Asbab An-Nuzul karena ada beberapa ayat yang tidak mempunyai Asbab An-Nuzul, yaitu ayat-ayat ibtida atau pendahuluan yang mencakup tentang akidah iman, kewajiban islam dan syari’at Allah. 5. Bagaimana cara mengetahui Asbab An-nuzul? Jawaban Dengan cara periwayatan yang benar atau naqlu ash-shahih dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya Al-Quran. Dalam hal ini para sahabatlah yang dianggap paling mengetahui tentang turunnya ayat Al-Quran. Baca juga sob Soal-soal tentang Al-qur'an lainnya. Lengkap!! E. Tehnik Penulisan, Pengumpulan dan Penyusunan Al-Quran 1. Sebutkan sahabat-sahabat nabi yang termasuk kedalam kuttab Al-Wahy! Jawaban Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Sufyan, Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, Al-A’la Al-Hadhrami, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais bin Syammas. 2. Jelaskan kondisi penulisan Al-Quran pada masa Rasulullah SAW! Jawaban Pada mulanya Rasulullah SAW tidak menyuruh untuk menulis Al-Quran, hanya menyuruh untuk menghafalnya saja. Karena tidak semua sahabat Rasul pandai menulis dan membaca. Namun seiring berjalannya waktu dan adanya kekhawatiran akan wafatnya para penghafal Al-Quran, maka Rasul mengambil sikap dengan memperbolehkan untuk menulis Al-Quran. Walaupun media yang dipakai untuk menulis masih sangat sederhana, Al-Quran hanya ditulis dipelepah pohon kurma, tulang-tulang unta, lempengan-lempengan batu pada masa ini Al-Quran sudah mulai dituliskan tetapi belum sampai dibukukan dalam satu kitab/mushaf. 3. Pada masa siapa Al-Quran sudah mulai dibukukan kedalam satu mushaf? Jawaban Pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq. 4. Apa jasa dari khalifah Usman bin Affan dalam penulisan Al-Quran? Jawaban Beliau berjasa dalam menyatukan dan menyeragamkan bacaan Al-Quran yang berbeda dalam satu bacaan yang sama serta menyusun tertib urutan surat seperti apa yang dilihat sekarang ini. 5. Siapakah yang pertama kali memerintah dan diperintah untuk memberikan syakal-syakal pada Al-Quran? Jawaban Yang pertama kali memerintah untuk memberikan syakal adalah Zaid bin Abihi yang merupakan salah seorang pembesar daulah Bani Umayyah. Dan yang pertama kali diperintah untuk memberikan syakal adalah Abu Aswad Ad-Duali. Baca Juga 30 Soal dan Jawaban Mengenai Masalah Al-quran Kisah-Kisah dalam Al-Quran 1. Jelaskan pengertian kisah secara bahasa dan istilah! Jawaban Secara bahasa Qashash قصص merupakan bentuk jamak dari kata قصة yang berarti berita, kisah, perkara dan keadaan. Secara istilah sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Mana’ Khali Al-Qtahan, qashash adalah pemberitaan Al-Quran tentang hal-ihwal umat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. 2. Sebutkan macam-macam kisah yang terdapat dalam Al-Quran! Jawaban Kisah para Nabi yang memuat dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang, perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mendustakan para Nabi. Kisah-kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiaanya, seperti kisah Thalut, Jalut, dua putra Adam, Ashahab al-Kahfi, Zulqarnain, Ashabul Ukhdud dsb. Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah seperti perang badar, uhud, tabuk dan lain sebagainya. 3. Sebutkan faedah adanya kisah-kisah dalam Al-Quran! Jawaban Meneguhkan hati Rasulullah dan umat Muhammad atas kebenaran agama Islam. Membenarkan para nabi-nabi terdahulu karena kisahnya dimuat dalam Al-Quran. Dapat mengambil contoh teladan dari orang-orang sebeum kita. 4. Sebutkan unsur-unsur kisah dalam Al-Quran! Jawaban Pertama, ada yang disebut Pelaku atau disebut Al-Fa’il. Kedua, ada yang disebut Peristiwa atau Al-Muhadatsah. Ketiga, ada yang disebut dengan Percakapan atau adalah tujuan dari kisah tersebut. 5. Apa tujuan adanya kisah-kisah dalam Al-Quran? Jawaban Untuk memberikan pengertian tentang seuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah atau pelajaran untuk memperkokoh keimanan dan membimbing kearah perbuatan yang baik dan benar. Terima Kasih Kepada AHMAD FACHRUROJI yang telah bersedia isi dari artikel ini di publikasikan. Untuk Kalian yang ingin tulisannya di publikasikan pada blog ini, silahkan klik Contact Me
Historically, the bookkeeping of the Koran is not as complicated as the books of Hadith. But that does not mean that the codification process of the Qur'an is not interesting to learn. In this case, there are a number of questions that remain relevant to convey; Is the Qur'an still true today? What is the true structure of the Qur'an? Are there standard standards for Koran arrangements agreed upon by Muslims throughout the world? These questions about the codification of the Qur'an often arise, because in the course of the Qur'an, in its capacity as a book a piece of paper is bound where there are dictums in Arabic that Muslims consider to be revelations from God - the codification process is no longer normative, but very historical, because related to various types of discourses social, political, etc. that surround it. In this context, historical and analytic studies of the historical codification of the Qur'an need to be presented, and this paper was written to meet those needs. Through the study of history based on Muslim scholarship about the history of the Quranic codification from the time of the Prophet Saw. to standardization in the form of reading and writing, which was then supplemented with critical analysis based on Western scholarship, it found that standardization "writing" the Qur'an in rasm Uṡmānī cultural products, and therefore open and allow for tashih, criticism, or even revision with more valid data findings. This does not mean the desecration of the Qur'an, but as a logical consequence of the existence of rasm Uṡmānī as something which is a human form. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MAGHZA Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto Juli-Desember, Vol. 3, No. 2, 2018 DOI 148 Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat Munawir Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Jl. Jend. A. Yani No. 40-A Purwokerto 53126 Emai Abstrak Secara historis, perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks pembukuan hadis. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan yang tetap relevan untuk diajukan; apakah Al-Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli? Bagaimanakah susunan Al-Qur'an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Al-Qur'an yang disepakati umat Islam di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-Qur‟an seperti ini seringkali muncul, karena dalam perjalanannya Al-Qur‟an -dalam kapasitasnya sebagai sebuah kitab lembaran kertas terjilid yang di dalamnya terdapat dictum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah- proses kodifikasinya tidak lagi normatif, melainkan sangat historis, karena terkait dengan berbagai macam discourse/wacana sosial, politik, dan lain-lain yang melingkupinya. Dalam konteks ini, kajian historis dan analitis seputar kesejarahan kodifikasi Al-Qur‟an perlu dihadirkan, dan makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui kajian historis berdasarkan tuturan kesarjanaan muslim tentang sejarah kodifikasi Al-Qur‟an dari masa Nabi SAW sampai standardisasinya dalam bentuk bacaan dan tulisan, yang kemudian dilengkapi dengan analisis kritis berdasarkan tuturan kesarjanaan Barat, ditemukan bahwa standardisasi khususnya bentuk “tulisan” Al-Qur‟an dalam rasm Uṡmānī merupakan produk budaya, dan karenanya ia terbuka dan memungkinkan untuk ditashih, dikritik, atau bahkan direvisi dengan temuan-temuan data yang lebih valid. Hal ini bukan berarti desakralisasi terhadap Al-Qur‟an, melainkan sebagai konsekuensi logis keberadaan rasm Uṡmānī sebagai sesuatu yang merupakan bentukan manusia. Kata Kunci Sejarah, Kodifikasi, dan Al-Qur‟an Abstract Historically, the bookkeeping of the Koran is not as complicated as the books of Hadith. But that does not mean that the codification process of the Qur'an is not interesting to learn. In this case, there are a number of questions that remain relevant to convey; Is the Qur'an still true today? What is the true structure of the Qur'an? Are there standard standards for Koran arrangements agreed upon by Muslims throughout the world? These questions about the codification of the Qur'an often arise, because in the course of the Qur'an, in its capacity as a book a piece of paper is bound where there are dictums in Arabic that Muslims consider to be revelations from God - the codification process is no longer normative, but very historical, because related to various types of discourses social, political, etc. that surround it. In this context, historical and analytic studies of the historical codification of the Qur'an need to be presented, and this paper was written to meet those needs. Through the study of history based on Muslim scholarship about the history of the Qur'anic codification from the time of the Prophet Saw. to standardization in the form of reading and writing, which was then supplemented with 149 critical analysis based on Western scholarship, it found that standardization "writing" the Qur'an in rasm Uṡmānī cultural products, and therefore open and allow for tashih, criticism, or even revision with more valid data findings. This does not mean the desecration of the Qur'an, but as a logical consequence of the existence of rasm Uṡmānī as something which is a human form. Keywords History, Codification, and Qur'an A. PENDAHULUAN ecara historis perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks pembukuan hadis. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk dikaji. Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan yang tetap relevan untuk diajukan; apakah Al-Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli? Bagaimanakah susunan Al-Qur'an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Al-Qur'an yang disepakati umat Islam di seluruh dunia? Dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-Qur‟an seperti ini wajar, karena dalam perjalanannya, Al-Qur‟an -dalam pengertian kapasitasnya sebagai sebuah kitab atau lembaran kertas terjilid dan tertulis di dalamnya dictum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah -proses kodifikasinya tidak lagi normatif, melainkan sangat historis, karena terkait dengan berbagai macam discourse/wacana sosial, politik, dan lain-lain yang melingkupinya, sehingga selalu layak untuk Kodifikasi al-Qur'an dikatakan tidak sekompleks hadis karena pada kasus al-Qur'an tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan, dan kodifikasinya, bahkan Nabi SAW sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya untuk menjadi penulis wahyu sementara hadis tidak demikian, antara masa turun hingga kodifikasinya melalui tahapan proses yang panjang, sehingga memunculkan keraguan terhadap keotentikannya sebagaimana para pemikir Barat. dipertanyakan dan dibahas kapan pun, di mana pun, dan bahkan oleh siapa pun. B. SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN Kodifikasi Al-Qur‟an jam‟ul Qur‟ān dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai proses penyampaian, pencatatan dan penulisan Al-Qur‟an sampai dihimpunnya catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut dalam satu „mushaf‟ secara lengkap dan tersusun secara berbagai literatur, penggunaan istilah jam‟ul Qur‟ān pengumpulan Al-Qur‟an lebih sering digunakan dari pada istilah kitābāt Al-Qur‟ān penulisan Al-Qur‟an ataupun tadwīn Al-Qur‟ān pembukuan Al-Qur‟an.Para ulama‟ yang memakai istilah jam‟ul Qur‟ān Mengenai lafaz muṣḥaf’ ini, para ulama berpendapat bahwa ia boleh dibaca muṣḥaf dan dapat pula dibaca miṣḥaf. Dibolehkannya dibaca muṣḥaf, karena bacaan asli, sedangkan miṣḥaf, karena untuk meringankan bacaan; dari ẓammah ke kasrah. Ibrāhīm al-Ibyāry, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, terj. Saad Abdul Wahid Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 69. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam al-Qur’an Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 44. Subḥi al-Ṣāliḥ, Mabāḥiṡ Fī Ulūm al-Qur’ān Dār al-Ilm Li al-Malāyin, hlm. 65. Muḥammad Sālim Maḥisin, Tārikh al-Qur’ān al-Karīm tp. , hlm. 127. Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān hlm. 34. 150 mengartikannya dengan Al-jam‟u fī Al-ṣudūr yaitu proses penghafalan Al-Qur‟an dan Al-jam‟u fī Al-suṭūr yaitu proses pencatatan dan penulisan Al-Qur‟an. Sekalipun terdapat perbedaan penggunaan istilah sebagaimana paparan di atas, dalam prakteknya istilah-istilah tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu proses penyampaian, pencatatan hingga penghimpunan catatan-catatan tersebut ke dalam satu mushaf. Berdasarkan pendekatan historis tradisonal pendekatan yang menggunakan sumber-sumber agama, maka proses pengumpulan Al-Qur‟an jam‟ul Qur‟ān menjalani tiga fase, yaitu 1. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi SAW Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad SAW pada faktanya, dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama 1 menyimpannya ke dalam dada manusia menghafalkannya, dan 2 merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis pelepah korma, tulang-belulang, dan lain-lain. Jadi, ketika para ulama berbicara tentang jam‟ Al-Qur‟ān pada masa Nabi SAW, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini adalah pengumpulan wahyu yang diterima oleh Nabi SAW melalui kedua cara tersebut, baik sebagian ataupun seluruhnya. a. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara Menghafalkannya Berdasarkan paparan sejarah, pada mulanya bagian-bagian Al-Qur‟an yang Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis Fī Ulūm al-Qur’ān tp., hlm. 179. diwahyukan kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi SAW dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya Al-Qur‟an dalam cara semacam ini. Jadi, setelah menerima suatu wahyu sebagaimana diperintahkan Al-Qur‟an, Nabi SAW kemudian menyampaikanya kepada para pengikutnya yang kemudian menghafalkannya. Pada masa ini, Nabi SAW merupakan Sayyid Al-Ḥuffāẓ, sementara para sahabat seolah berlomba penuh antusias menghafal setiap ayat Al-Qur‟an yang dibacakan dan disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Selanjutnya mereka mengajarkannya kepada istri, anak, dan keluarga antusiasme yang tinggi dari para sahabat untuk menghafal Al-Qur‟an ini, tidak heran apabila banyak hadis menginformasikan tentang keberadaan mereka sekalipun dengan nama dan jumlah yang beragam. Di antara mereka yang sering disebut adalah Ubay bin Ka‟ab w. 642, Mu‟āż bin Jabal w. 639, Zaīd bin Ṡābit, dan Lihat QS. al-Māidah 67, QS. Al-A’raf2, QS. Al-Ḥijr 94, dan lain-lain. Sayyid al-Ḥuffāẓ artinya penghulu dari segala penghafal al-Qur’an. Muhammad Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān Mesir Isa al-Bābi al-Ḥalabi, hlm. 241. Antusiasme para sahabat dalam menghafal al-Qur’an ini tidak hanya keinginan pribadi tetapi Nabi juga melakukan berbagai cara untuk merangsang mereka menghafal wahyu-wahyu yang telah diterimanya, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadis, di antaranya adalah yang diriwayatkan Uṡmān bin Affān bahwa Rasulullah pernah bersabda “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an dan kemudian mengajarkannya”. 151 Abū Zaīd Al-Anṣārī w. 15 H..Sementara dalam berbagai laporan lainnya, muncul nama-nama selain keempat sahabat tersebut. Mereka yang juga sering disebut dalam riwayat adalah Uṡmān bin Affān, Tamīm Al-Dārī w. 660, Abdullāh bin Mas‟ūd w. 625, Sālim bin Ma‟qil w. 633, Ubādah bin Ṣāmit, Abū Ayyūb w. 672, dan Mu‟jam Al-Jāriyah, bahkan Al-Suyūṭī, dalam Al-Itqān menyebutkan lebih dari 20 nama sahabat yang terkenal sebagai penghafal Al-Qur‟ titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap pengumpul Al-Qur‟an itu menyimpan dalam ingatannya keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau hanya sebagian besar darinya? Jika dilihat dari peran tulisan ketika itu, dapat dikemukakan bahwa penghafalan Al-Qur‟an merupakan tujuan utama yang terpenting –bahkan sepanjang sejarah Islam; sementara perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun unit wahyu yang tidak tersimpan dalam dada ingatan para pengumpul Al-Qur‟an ketika itu. b. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara Menuliskannya Penulisan pada masa Nabi SAW merupakan langkah kedua dalam pemeliharaan dan pelestarian unit-unit wahyu yang diterima oleh Nabi SAW Al-Qur‟an. Informasi paling awal tentang penyalinan Al- Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 130. Ibid. Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur’an Beirūt Dār al-Fikr, hlm. 74. Qur‟an secara tertulis, bisa ditemukan dalam kisah masuknya Umar bin Khaṭṭāb, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Jika kisah ini dapat dipercaya, maka menunjukkan bahwa sejak semula telah terdapat upaya yang dilakukan secara serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk merekam secara tertulis pesan-pesan ketuhanan yang diwahyukan dengan ini, adalah pendapat W. Montgomery Watt yang menyatakan bahwa pencatatan Al-Qur‟an pada masa Nabi SAW adalah sesuatu yang logis. Hal ini, di samping didasarkan pada analisis historis, juga bahkan didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur‟an itu sendiri. Dari sudut pandang sejarah, Watt menyimpulkan bahwa tradisi tulis-menulis sudah dikenal luas dalam masyarakat, terutama masyarakan Mekah dan Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat perdagangan, para pedagangnya sudah banyak melakukan transaksi jual beli dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, Watt meragukan pendapat sebagian pakar yang menyatakan bahwa Nabi SAW adalah seorang yang ummi dalam pengertian tidak bisa membaca dan menulis. Kata ummi, dalam beberapa ayat Kesimpulan semacam ini juga mendapat justifikasi dari al-Qur’an sendiri. Nama-nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa Muhammad, seperti al-Qur’ān, al-Kitāb, atau al-waḥy, secara tersamar mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis. Dikutip dari M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an Jakarta Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 26. Kata ummi berasal dari bahasa Ibrani “ummot h-olam”, menyeberang ke bahasa Arab ummi dapat berarti “pribumi/native”. Dengan demikian, nabi Muhammad SAW seorang ummi berarti beliau bukan seorang Yahudi, tetapi seorang 152 Al-Qur‟an menurut Watt, kurang tepat bila diartikan “buta huruf”, tetapi lebih tepat diartikan dengan “orang-orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis”. Sedangkan argumentasi Qur‟ani, Watt menyebutkan adanya beberapa ayat yang mengisyaratkan pentingnya pencatatan, terutama dalam urusan apakah kesimpulan Watt di atas benar atau salah, yang jelas dalam literatur-literatur Islam banyak disebutkan bahwa keberadaan para penulis wahyu sudah dikenal secara umum. Di antara mereka adalah Abū Bakar Al-Ṣiddīq, Umar bin Khaṭṭāb, Uṡmān bin Affān, Alī bin Abī Ṭālib, Mu‟āwiyah, Khālid bin Walīd, Ubay bin Ka‟ab, Zaīd bin Ṡābit, Ṡābit bin Qais, Amr bin Fuhairah, Amr bin „Ăṣ, Abū Mūsā Al-Asy‟arī, dan Abū Dardā‟.Bahkan, Abū Abdullāh Al-Zanjanī salah satu sarjana Syi‟ah terkemuka abad ke-20 menyebut 34 nama sahabat Nabi SAW yang ditugaskan mencatat hal ini, dapat nabi yang berasal dari bangsanya sendiri, yaitu Arab. Ibid. lebih jauh, di antara alasan historis bahwa Nabi SAW bukan seorang ummi, menurut Watt adalah Nabi SAW seorang kepercayaan Khadijah untuk menjalankan misi dagangnya ke luar negeri, tentu transaksi tertulis tidak dapat dihindarkan, pimpinan ekspedisi ke Nakhlah diberikan surat rahasia dari Nabi SAW, dan redaksi “Muḥammad bin Abdullāh” dalam perjanjian Hudaibiyah ditulis langsung oleh Nabi SAW, karena Ali sebagai juru tulis tidak mau mengganti redaksi pertama. Ibid. Di antaranya QS. al-Baqarah 282-283. Selaras dengan Watt, Schwally juga menunjukkan beberapa bagian al-Qur’an yang menyiratkan perekaman wahyu secara tertulis, seperti QS. al-Ankabūt 48, QS. al-Furqān 4-5, QS. al-Kahfi 109, dan QS. Luqmān 27. Ṣubḥi al-Sāliḥ, Mabāḥiṡ…, hlm. 68. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 132. dipastikan bahwa unit-unit wahyu yang diterima Nabi SAW telah dipelihara dan dilestarikan dalam bentuk titik ini, masalah yang muncul adalah sejauh mana rekaman-rekaman tertulis Al-Qur‟an itu memiliki bentuk seperti Al-Qur‟an yang kita kenal dewasa ini? Masalah ini memang pelik, karena di satu sisi, meski unit-unit wahyu telah ditulis pada masa Nabi SAW, tetapi Nabi SAW sendiri tidak pernah mempromulgasikan suatu kumpulan tertulis Al-Qur‟an yang lengkap dan resmi dalam satu mushaf.Sedangkan di sisi lain, adalah merupakan satu hal pasti bahwa Nabi SAW sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat Al-Qur‟an yang diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti dalam surat-surat yang ada tauqīfī. Oleh karena itulah, ketika dibuka kumpulan Al-Qur‟an para sahabat, maka yang ditemukan adalah perbedaan yang cukup signifikan dalam susunan surat bukan susunan ayat. 2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abū Bakar Pada masa kekhalifahan Abū Bakar, terjadilah kekacauan di kalangan umat Islam Bukti lain tentang terdapatnya usaha serius dari kalangan sahabat merekam wahyu dengan tulisan adalah adanya mushaf-mushaf sahabat, seperti muṣḥaf Ubay bin Ka’ab, muṣḥaf Ibnu Mas’ūd, muṣḥaf Abū Mūsa al-Asy’arī, dan muṣḥaf Miqdād bin Aswad. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 159-160. Hal ini menurut al-Zarqānī ada beberapa alasan i tidak adanya faktor pendorong dibukukannya al-Qur’an, ii al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dan iii selama proses turunnya al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya mansukh. Muḥammad Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān…, hlm. 132. 153 yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad di bawah pimpinan Musailamah ini mengakibatkan terjadinya perang Yamāmah yang terjadi pada tahun 12 H. Dalam peperangan tersebut, banyak sahabat penghafal Al-Qur‟an yang meninggal hingga mencapai 70 orang, bahkan dalam satu riwayat disebutkan 500 orang. Sementara umat Islam yang gugur dalam peperangan tersebut kurang lebih berjumlah Yamāmah ini menggugah hati Umar bin Khaṭṭāb untuk meminta kepada khalifah Abū Bakar agar Al-Qur‟an segera dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah mushaf. Umar khawatir Al-Qur‟an akan berangsur-angsur hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya. Sekalipun pada awalnya ragu terhadap gagasan Umar ini, tetapi akhirnya Abū Bakar menerimanya, kemudian memerintahkan Zaīd bin Ṡābit untuk segera mengumpulkan Al-Qur‟an dan menulisnya dalam satu Abū Bakar wafat, mushaf terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab Hasanuddin AF, Anatomi…, hlm. 50. Muḥammad Abd al-Azīīm al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān…, hlm. 249. Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 38. Sumber utama dalam penulisan al-Qur’an tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi SAW. Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut harus dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an…, hlm. 55. Selengkapnya, rekaman dialog antara Abū Bakar, Umar bin Khab, dan Zaid bin Sa>bit dapat dilihat pada al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, juz 5 Beirūt Dār al-Ṭibā’at al-Munirriyyat, hlm. 314-315. Umar bin Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di masa Umar bin Khaṭṭāb, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam lembaran ṣaḥīfah. Umar tidak menggandakan lagi ṣaḥīfah itu, karena memang hanya untuk dijadikan naskah orisinil, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah binti Umar istri Rasulullah SAW untuk demikian, dapat dikatakan bahwa Umar bin Khaṭṭāb sebagai penggagas intelektual Intellektuelle Urheber, sedangkan Abū Bakar merupakan orang yang memerintahkan pengumpulan dalam kapasitasnya sebagai penguasa dan menunjuk pelaksana teknis, serta menerima hasil pekerjaan berupa muṣḥaf Al-Qur‟ paparan di atas, minimal terdapat dua motif yang bisa diajukan kaitannya dengan praktek pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Abū Bakar. Pertama, motif didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW belum mengumpulkan Al-Qur‟an dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Kedua, Mushaf Abū Bakar yang akhirnya disimpan H}afs}ah ini, memiliki ciri-ciri penulisan sebagai berikut 1 seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama, 2 tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat yang mansukh, dan 3 seluruh ayat yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya. Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an…, hlm. 55. Dalam hal ini, ada riwayat versi lain yang menyatakan bahwa pengumpulan al-Qur’an itu, pada dasarnya merupakan inisiatif Abū Bakar sendiri, ada juga pendapat bahwa Umar lah pengumpul pertama al-Qur’an, dan tidak ketinggalan pula adanya sejumlah laporan yang ingin mengharmoniskan kedua sudut pandang tersebut. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 147. 154 motif yang didasarkan pada kenyataan wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an pada pertempuran Yamāmah yang menimbulkan kecemasan Umar bin Khaṭṭāb akan hilangnya bagian-bagian Al-Qur‟an. Untuk motif pertama, memang dapat dipastikan bahwa Nabi SAW sama sekali tidak meninggalkan kodeks Al-Qur‟an dalam bentuk lengkap dan resmi yang bisa dijadikan pegangan bagi umat Islam, tetapi untuk motif kedua, terdapat beberapa kritik yang ditujukan kepadanya. Telah jelas bahwa terdapat upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk memelihara wahyu dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjuk-petunjuknya tentang komposisi kandungan kitab suci tersebut. Jadi, wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an barangkali bukan merupakan alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian Al-Qur‟ samping itu, kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh para pemikir Barat. Sebagaimana keterangan di atas, bahwa jumlah penghafal yang gugur pada peristiwa Yamāmah sebanyak 70 orang bahkan menurut riwayat lain 500 orang. Namun ketika nama-nama para penghafal Al-Qur‟an ditelusuri dalam daftar orang-orang yang gugur seluruhnya berjumlah 1200 orang ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak Al-Qur‟an. L. Caetani bahkan menunjukkan yang gugur ketika itu hampir seluruhnya pengikut baru Islam. Sementara Schwally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-nama penghafal Al-Qur‟an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa Ibid. dikatakan memiliki pengetahuan Al-Qur‟an yang meyakinkan, yaitu Abdullāh bin Ḥafsh ibn Gānim dan Sālim bin Ma‟qil. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Abū Bakar dengan gugurnya sejumlah besar penghafal Al-Qur‟an dalam pertempuran Yamāmah sangat sulit Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Uṡmān bin Affān Pada masa pemerintahan Uṡmān bin Affān, banyak di antara para sahabat penghafal Al-Qur‟an yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu sudah semakin meluas. Lebih dari itu, para pemeluk agama Islam di masing-masing daerah tersebut mempelajari serta menerima bacaan Al-Qur‟an dari sahabat ahli qirā‟at yang tinggal di daerah bersangkutan. Penduduk Syām misalnya, berguru dan membaca Al-Qur‟an dengan qirā‟at Ubay bin Ka‟ab, penduduk Kuffah pada Abdullāh bin Mas‟ūd, sementara penduduk Baṣrah pada Abū Mūsū Al-Asy‟ diketahui, bahwa versi qirā‟at yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing sahabat ahli qirā‟at tersebut satu sama lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan Ibid., hlm. 148. Ibid., hlm. 147-148. Mengenai kritikan semacam ini Kamaluddin Marzuki memberikan tanggapan bahwa kekhawatiran Umar tidak semata-mata karena terbunuhnya 70 orang penghafal al-Qur’an, tetapi kekhawatiran yang lebih besar adalah jika terjadi pertempuran-pertempuran selanjutnya, akan memakan jumlah korban yang lebih banyak. Kamaluddin Marzuki, Membahas Rasm…, hlm. 73. Hasanuddin AF., Anatoni al-Qur’an…, hlm. 56. 155 dampak negatif di kalangan umat Islam waktu itu, yaitu masing-masing di antara mereka saling membanggakan versi qirā‟at mereka, dan saling mengaku bahwa versi qirā‟at mereka lah yang paling baik dan seperti ini sangat mencemaskan khalifah Uṡmān bin Affān, karenanya ia segera mengundang para pemuda sahabat, baik dari golongan Ansar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari mereka diperoleh suatu kesepakatan, agar mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf dengan dialek hal ini, Uṡmān bin Affān menunjuk suatu tim yang terdiri atas empat orang sahabat pilihan, yaitu; Zaid bin Sābit, Abdullāh bin Zubair, Sa‟īd bin Al-„Āṣ, dan Abdurraḥmān bin Al-Ḥaris bin tim ini menyelesaikan tugasnya, Uṡmān bin Affān segera mengembalikan mushaf orisinal kepada Hafṣah, kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai kota untuk dijadikan rujukan, terutama ketika terjadi perselisihan tentang qirā‟at Al-Qur‟ān, sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu diperintahkan oleh Uṡmān bin Affān untuk mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar tetap tersimpan pada Hafṣah Gambaran mengenai hal ini, sebagaimana terlihat oleh H}uzaifah bin al-Yama>n, ketika ia tengah memimpin penduduk Siria dan Iraq dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 196. Ibid., hlm. 197. M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, hlm. 30. Ibid. sampai akhir hayatnya, setelah itu Marwān bin Al-Hākam w. 65 H wali kota Madinah saat itu, memerintahkan untuk mengambil mushaf tersebut dan umum, ada empat ciri yang dimiliki mushaf Al-Qur‟an yang ditulis pada masa Uṡmān bin Affān, yaitu1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang tertulis di dalamnya, seluruhnya berdasarkan riwayat mutawatir dari Nabi SAW 2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang mansūkh 3. Surat-Surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana Al-Qur‟an sekarang ini 4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada Al-Qur‟an, seperti tulisan sahabat Nabi SAW sebagai penjelas. 5. Mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Uṣmān tersebut, mencakup tujuh huruf sab‟at Al-aḥruf diturunkannya Al-Qur‟an. Mengenai pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Uṡmān bin Affān ini, sebagaimana pada masa Abū Bakar, juga terdapat beberapa kritikan yang bisa diajukan. Penyebutan mushaf Ḥafṣah sebagai basis kodifikasi Usman dinilai sebagai suatu yang meragukan. Perjalanan historis mushaf tersebut dari Abū Bakar ke Umar bin Khaṭṭāb kemudian ke H}afs}ah sebagai warisan lebih menunjukkan karakter personalnya. Suatu Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 44. Muhammad Sālim Maḥisīn, Tārikh …, hlm. 149. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 149. 156 mushaf orisinil resmi yang pengumpulannya diotorisasi khalifah tentunya tidak logis apabila jatuh ke pemilikan pribadi Hafs}ah, sekalipun ia merupakan putri Khalifah Umar dan istri Nabi SAW. Di samping itu, adanya keterangan yang menyebutkan bahwa mushaf tersebut diminta oleh Marwān bin Al-Hakam untuk dimusnahkan, karena adanya bacaan-bacaan yang tidak lazim sehingga menyebabkan perselisihan, jelas menunjukkan mushaf Ḥafṣah tidak memadai sebagi basis utama untuk kodifikasi tetapi, hal ini tidak menafikan kemungkinan penggunaannya bukan sebagai sumber utama bersama mushaf-mushaf lainnya dalam upaya pengumpulan tesebut. Di samping itu, pemilihan Uṣmān terhadap dialek Quraisy juga mendapat sorotan. Berdasarkan argumen sebagian ulama, bahwa pemilihan Uṣmān terhadap dialek Quraisy, karena Nabi SAW dan para pengikut awal berasal dari suku Quraisy, sehingga mereka tentunya telah membaca Al-Qur‟an dalam dialek suku tersebut. Namun penelitian terakhir tentang bahasa Al-Qur‟an menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang digunakan dalam syair-syair pra Islam. Bahasa ini merupakan lingua franca lazimnya disebut „Arābiyyah yang dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, dan merupakan satu-kesatuan bahasa, karena kesesuaiannya yang besar dalam masalah leksikal maupun gramatik. Oleh sebab itu, W. Montgomery Watt, Richard Bell Pengantar al-Qur’an Jakarta INIS, 1998, hlm. 36. Ibid. bahasa ini bukanlah dialek suku atau suku-suku MUSHAF NON STANDAR DAN MUSHAF STANDAR 1. MUSHAF NON STANDAR Adapun yang dimaksud dengan mushaf non standar di sini adalah mushaf-mushaf selain mushaf Usmani. Telah terbukti –sebagaimana keterangan di atas- bahwa pada masa-masa awal telah ada upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk merekam Al-Qur‟an secara tertulis, sehingga memunculkan beberapa mushaf Al-Qur‟ didasarkan pada kitab Maṣāḥif karya Ibnu Abī Dāwud dan sejumlah manuskrip lainnya, Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf tersebut ke dalam dua kategori utama, yaitu; mushaf primer dan mushaf skunder. Mushaf primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi SAW. Mushaf primer ini berjumlah 15 kodeks, yaitu a. Muṣḥaf Sālim bin Ma‟qīl b. Muṣḥaf Umar bin Khaṭṭāb c. Muṣḥaf Ubay bin Ka‟ab d. Muṣḥaf Ibnu Mas‟ūd Ibid., hlm. 200. Eksistensi mushaf sahabat pra Usmani ini bisa diketahui dari tulisan para mufassir dan filolog awal, ketika merereferensi mushaf-mushaf tersebut dengan ungkapan-ungkapan; “dalam beberapa mushaf lama” fī ba’ḍ al-Maṣāḥif, “mushaf Basrah” dinisbatkan kepada kota, ataupun “muṣhaf Ibnu Mas’ūd” dinisbatkan kepada pemiliknya. Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 157. Ibid., 158. 157 e. Muṣḥaf Alī bin Abī Ṭālib f. Muṣḥaf Abū Mūsā Al-Asy‟arī g. Muṣḥaf Hafṣah binti Umar h. Muṣḥaf Zaid bin Ṡābit i. Muṣḥaf Ā‟isyah binti Abū Bakar j. Muṣḥaf Ummu Salāmah k. Muṣḥaf Abdullāh bin Amr l. Muṣḥaf Ibnu Abbās m. Muṣḥaf Ibn Al-Zubair n. Muṣḥaf Ubaid bin Umair o. Muṣḥaf Anas bin Mālik Sedangkan mushaf skunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung didasarkan pada mushaf-mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar. Mushaf skunder ini berjumlah 13 mushaf, yaitu a. Muṣḥaf Alqama ibn Qais b. Muṣḥaf Al-Rabi‟ bin Khutsam c. Muṣḥaf Al-Ḥāris bin Suwaid d. Muṣḥaf Al-Aswd bin Yazīd e. Muṣḥaf Ḥittān f. Muṣḥaf Ṭalhah bin Muṣarrif g. Muṣḥaf Al-A‟masy h. Muṣḥaf Sa‟īd bin Jubair i. Muṣḥaf Mujāhid j. Muṣḥaf Ikrimah k. Muṣḥaf Aṭā‟ bin Abī Rabi‟ah l. Muṣḥaf Ṣāliḥ bin Kaisān m. Muṣḥaf Ja‟far Al-Ṣādiq Dari semua mushaf di atas primer/skunder, dalam tenggang waktu sekitar 20 tahun mulai wafatnya Nabi SAW sampai pengumpulan Al-Qur‟an, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di kalangan masyarakat Islam. Keempat sahabat itu adalah Ubay bin Ka‟ab kumpulan Al-Qur‟annya berpengaruh di sebagian besar Siria, Abdullāh bin Mas‟ūd kumpulan Al-Qur‟annya mendominasi Kuffah, Abū Mūsā Al-Asy‟arī mushafnya berpengaruh di Bashrah, dan Miqdād bin Aswad mushafnya diikuti masyarakat Hims.2. MUSHAF STANDAR Mushaf standar di sini maksudnya adalah mushaf Usmani. Mengenai mushaf Usmani ini, di samping proses kesejarahannya di atas, ada beberapa hal yang juga menarik untuk dibahas lebih lanjut. 1. Karakteristik Mushaf Usmani Dalam hal ini, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa susunan surat dalam mushaf Usmani menempatkan surat-surat panjang terlebih dahulu kemudian baru surat-surat pendek adalah bersifat seperti ini, tampak jelas terekam dalam pernyataan Al-Ya‟qūbi “Uṡmān bin Affān mengkodifikasikan Al-Qur‟an, menyusun, dan mengumpulkan surat-surat Keempat mushaf di atas, banyak mempunyai perbedaan dengan mushaf Usmani, baik dari segi vokalisasi bentuk konsonan, pemberian titik-titik diakritis pembeda lambang-lambang konsonan, penambahan/pengurangan kata, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat Ibid., hlm. 160-189. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Mālik bin Anas, Abū Bakar al-Baqillānī, dan Abū al-H}usain Ah}mad bin Faris. Di samping itu, ada juga yang berpendapat sebaliknya, seperti Abū Bakar al-Anbari, Abū Ja’far al-Nuhas, dan al-Thibi. Pendapat ini diikuti oleh jumhur. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an…, hlm. 76-78. 158 panjang dengan surat-surat panjang dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek”. Dengan demikian, sistem penyusunan surat dalam mushaf Uṣmān pada dasarnya sama dengan model penyusunan sahabat-sahabat lainnya, seperti Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu Mas‟ūd, dan Ubay bin Ka‟ab, kecuali Ibnu Abbās yang menyusun secara sistem penyusunan surat Al-Qur‟an dalam mushaf Usmani dimulai dari yang surat panjang ke arah surat yang pendek, namun terdapat dua tempat di mana sistem ini mengalami inkonsistensi yaitu; pertama, surat pendek Al-Fātiḥah ditempatkan paling awal di depan surat paling panjang Al-Baqarah dan kedua, penempatan surat terpendek surat Al-„Aṣr bukan pada penghujung mushaf. Jumlah keseluruhan surat dalam mushaf Usmani adalah 114 surat dengan nama-nama yang beragam. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan formal di kalangan ulama mengenai penamaan surat-surat tersebut, sekalipun sekuensi tata urutannya telah ditetapkan secara definitif dalam mushaf Usmani. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa nama-nama yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari Al-Qur‟an. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang beragam itu, namun dapat dikemukakan dugaan bahwa segera setelah adanya kodifikasi Al-Qur‟an, timbul kebutuhan untuk pemberian nama-nama surat guna mempermudah perujukannya dan sekitar pertengahan abad ke –8 dapat dipastikan Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 211. bahwa nama-nama surat yang beragam itu telah Stabilitasi Teks dan Bacaan Al-Qur’an Mushaf Usmani a. Stabilitasi Teks Al-Qur’an Mushaf Usmani Proses stabilitasi teks Al-Qur‟an ini diawali dengan standardisasi mushaf Usmani dan dicapai dengan upaya eksperimental untuk menyempurnakan aksara Arab. Memang, upaya ini pada akhirnya mencapai titik puncak pada penghujung abad ke-3/9 H dan berhasil memaparkan bentuk teks Al-Qur‟an yang lebih memadai. Namun, sebelum itu terdapat masalah serius yang harus dihadapi. Sebagaimana paparan di atas, bahwa alasan utama di balik kodifikasi Al-Qur‟an pada masa Uṡmān bin Affān adalah perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah kepada perpecahan politik umat Islam, akan tetapi karena ketidaksempurnaan aksara Arab yang digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an waktu itu, maka langkah tersebut tidak langsung mencapai hasil yang diidealkan. Bentuk aksara-aksara atau ortografi Arab lama scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an ketika itu tidak adanya tanda-tanda vokal dan adanya sejumlah konsonan berbeda dalam akasara dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama, masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam. Hal ini bisa dilacak pada berbagai perbedaan bacaan yang eksis dalam qirā‟at Al-sab‟ah dan berbagai bacaan non Ibid., hlm. 212. 159 Usmani lainnya. Sebagai contoh; kerangka konsonantal bentuk grafis dalam Qs. Al-Baqarah 259, telah dibaca nunsyizuhā dalam qirā‟at Āṣim yang diriwayatkan Ḥafsh, sementara dalam qirā‟at Nāfi‟ yang diriwayatkan Warsy dibaca nunsyiruhā. Perbedaan pemberian titik diakritis ini sama sekali tidak mempengaruhi makna keseluruhan ayat, karena kedua kata itu memiliki makna sinonim, yakni “membangkitkan”.Demikian pula kerangka konsonantal QS. Al-Māidah 54; dalam qira‟at pertama dibaca yartadda, sedangkan dalam qira‟at kedua dibaca . yartadid. Perbedaan ini pun tidak memiliki efek apa pun terhadap makna ayat, karena merupakan masalah asimilasi mumaāṡalah.Jika ilustrasi di atas, merupakan perbedaan pemberian titik diakritis terhadap kerangka konsonantal yang sama, maka berikut ini adalah ilustrasi perbedaan vokalisasi. Sebagai contoh lafaz QS. Al-Baqarah125. Dalam riwayat H}afsh} terbaca wattakhażū, sedangkan dalam riwayat Warsy terbaca wattakhiżū. Dalam kasus ini pun tidak terjadi perbedaan makna yang mendasar, selain masalah pernyataan langsung kalām mubāsyir/kalimat langsung atau pelaporan suatu tindakan kalām ghairu mubāsyir/kalimat tidak langsung.Memang ilustrasi-ilustrasi perbedaan pemberian titik-titik diakritis ini, baik untuk kerangka konsonantal maupun vokalisasi tidak Ibid., hlm. 274. Ibid. Ibid. mengakibatkan munculnya perbedaan makna yang signifikan, tetapi dalam beberapa kasus lainnya bisa juga memunculkan perbedaan makna yang signifikan khususnya dalam penyimpulan hukum. Sebagai contoh, rangkaian konsonan QS. Al-Baqarah222, oleh Hamzah, Al-Kisā‟ī, dan „Āṣim riwayat Syu‟bah dibaca yaṭṭahharnā, sedangkan Ibnu Kaṡīr, Nāfi‟, Abū Amr, dan „Āṣim riwayat Ḥafṣ membacanya sebagai yaṭhurnā. Makna bacaan pertama adalah bersuci larangan mencampuri istri yang haid hingga mereka bersuci mandi setelah haid. Sementara, makna bacaan kedua adalah suci larangan menggauli istri yang sedang haid hingga darah haid berhenti. Dengan demikian, dari semua penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa penyebab timbulnya perbedaan bacaan Al-Qur‟an adalah tulisan yang digunakan untuk menyalin mushaf usmani ketika jauh, adanya perbedaan pembacaan teks Al-Qur‟an yang disalin dengan scriptio defectiva, memunculkan gagasan penyempurnaan rasm Al-Qur‟ hal ini, ulama berbeda pendapat Namun kesimpulan seperti ini, tidak diterima mayoritas sarjana Islam. Menurut merekaberbagai perbedaan bacaan qirā’at mutawātir hingga masyhūr merupakan bacaan yang bersumber dari Nabi SAW dan karenanya memiliki otoritas ilahiyah. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwasejumlah besar pembaca qurrā’ al-Qur’an yang tersebar di berbagai wilayah Islam tidak mungkin bersepakat pada suatu kekeliruan. Dengan demikian, teks tertulis hanya memiliki peran yang sangat terbatas. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 276. Rasm di sini artinya kesatuan atau pola yang digunakan Usmān bin Affān bersama sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an…, hlm. 79. 160 tentang para pelakunya. Namun, pada umumnya disebutkan bahwa pada masa kekhalifahan Mu‟āwiyah bin Abī Sufyān 661-680, langkah ke arah penyempurnaan tersebut mulai bin Sāmiyah w. 673 yang ketika itu sebagai Gebernur Basrah, meminta Abū Aswad Al-Du‟alī 605-688 agar menciptakan tanda-tanda baca dan membubuhkannya ke dalam mushaf untuk menghindari berbagai kekeliruan pembacaan. Al-Du‟alī sendiri, secara tidak langsung telah memenuhi permintaan Zaid, sebagaimana dalam suatu peristiwa ketika Al-Du‟alī mendengar sendiri seseorang keliru membaca bagian Al-Qur‟an QS. 93 . Kekeliruan pembacaan dalam ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasūluhu menjadi rasūlihi, yang mengakibatkan adanya perubahan makna sangat substansial. Ketika bagian Al-Qur‟an itu dibaca secara benar “rasūluhu”, maka maknanya adalah “Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang yang musyrik. Tetapi, ketika kata itu dibaca “rasūlihi”, maka maknanya akan berubah menjadi “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang yang musyrik dan dari rasul-Nya”.Dalam langkah penyempurnannya, rasūluhu kemudian memperkenalkan tanda-tanda vokal yang penting, yakni titik di atas huruf untuk vokal a fatḥah, di bawah huruf untuk vokal i kasrah, titik di sela-sela atau di depan huruf untuk vokal u ḍammah, dua titik untuk vokal rangkap tanwīn, dan untuk Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…,hlm. 280. Ibid., hlm. 281. konsonan mati sukūn, tidak dibubuhkan tanda apa pun. Tanda-tanda vokal ini, dalam penulisan mushaf diberi warna yang berbeda dari warna hurufnya. Menurut sebagian riwayat, tidak seluruh huruf dalam mushaf diberi tanda vokal, tanda-tanda ini hanya dibubuhkan pada huruf-huruf terakhir tiap kata, atau pada huruf-huruf tertentu yang berpeluang terhadap masa kekhalifahan Abbasiyah, tanda-tanda vokal yang diciptakan Al-Du‟alī, kemudian disempurnakan lebih jauh oleh Al-Khalīl bin Aḥmad 715-786, seorang pakar bahasa Basrah dan merupakan sarjana pertama yang menyusun kamus bahasa Arab serta pengembang aturan-aturan yang dilakukan Al-Khalīl adalah membubuhkan huruf alif kecil di atas huruf untuk tanda vokal a, huruf ya‟ kecil di bawah untuk vokal i, huruf waw kecil di depan huruf untuk vokal u, menggandakan tanda-tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap tanwīn, membubuhkan kepala huruf ha di atas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap syaddah, ditempatkan kepala huruf sin. Dari tanda-tanda vokal yang diintroduksi Al-Khalīl inilah, kemudian dilakukan penyempurnaan akhir, sehingga mengambil bentuk yang dikenal dewasa ini. Adapun untuk tanda-tanda pembeda konsonan, upaya pengintroduksiannya mulai dilakukan pada masa pemerintahan Abd Al-Mālik bin Marwān 685-705 dari bani Ibid. hlm. 281-282. Ibid. 161 Umāyah. Seorang gubernur Irak waktu itu, Al-Ḥajjaj bin Yūsuf demi menghilangkan berbagai kekeliruan pembacaan Al-Qur‟an, menugaskan dua ahli bahasa terkenal ketika itu; Naṣr ibn „Āṣim w. 708 dan Yaḥyā bin Ya‟mūr w. 747 –keduanya adalah murid Al-Du‟alī- menyempurnakan pekerjaan gurunya, yaitu mengupayakan pembedaan konsonan-konsonan bersimbul sama dengan mengintroduksi titik-titik diakritis untuk pembedaan tersebut. Sebagai contoh, kerangka konsonan ha, supaya bisa dibaca kha diberi satu titik di atasnya, atau satu titik di bawahnya untuk melambangkan jim, dan konsonan dasar yang tidak bertitik merepresentasikan konsonan ha‟. Demikian pula, pembubuhan titik-titik diakritis pada konsonan-konsonan lainnya, sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dalam tahapan ini, titik-titik diakritis ini diwarnai dengan tinta yang sama untuk menulis huruf, sehingga bisa dibedakan dari titik-titik yang diintroduksi Al-Du‟alī untuk vokalisasi teks. Dalam tahapan ini pula, bisa dikatakan bahwa permasalahan seputar aksara Arab telah terselesaikan. b. Stabilitasi Bacaan Al-Qur’an Mushaf Usmani Sebagaimana standardisasi Al-Qur‟an mushaf Usmani dilakukan dengan stabilitasi teks, maka eksisnya stabilitasi teks ini juga mengarah pada stabilitasi bacaan Al-Qur‟an. Adanya pemusnahan seluruh bentuk teks non-Usmani, ternyata tidak menghilangkan keseluruhan tradisi pembacaannya. Sebagian umat Islam masih tetap memelihara bacaan- Ibid. bacaan non-Usmani. Dari sini, pada dasarnya umat Islam terpecah ke dalam dua gerakan pro dan penentang standardisasi teks/bacaan Al-Qur‟an, namun akhirnya keduanya sama-sama mencapai tujuannya dalam bentuk kompromi. Pada tataran praktis, teks Usmani berhasil memapankan diri sebagai satu-satunya teks Al-Qur‟an yang disepakati textus receptus, sementara dalam teori, bentuk-bentuk riwayat bacaan non-Usmani juga diakui keberadaannya sebagai bacaan Al-Qur‟an. Namun dalam perkembangannya, bentuk kompromi seperti ini tidak bertahan lama. Kecenderungan yang kuat ke arah penyeragaman univikasi bacaan Al-Qur‟an semakin mengental dengan penerimaan teks Usmani sebagai satu-satunya teks Al-Qur‟an pada dataran praksis. Kecenderungan tersebut ditandai dengan sikap Imam Mālik bin Anas yang menolak secara tegas terhadap keabsahan penggunaan bacaan Ibnu Mas‟ūd dalam shalat, sekitar abad 2 ini terus berlanjut, hingga tahap selesainya proses penyempurnaan aksara Arab abad ke-3 H. Sekitar awal abad ke-4 H berbagai keragaman bacaan mulai disaring dengan textus receptus sebagai batu uji. Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik, ortodoksi Islam Ibid., hlm. 305. Ibid, hlm. 306. Adapun kriteria-kriteria yang dibangun adalah keselarasan bacaan dengan teks mushaf Usmani, keselarasan dengan kaedah bahasa Arab, dan mutawatir prinsip tentang transmisi suatu bacaan melalui mata rantai periwatyatan yang independen dan otoritatif dalam skala yang sangat luas, sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kesalahan. Al-Suyuṭī, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur’ān, hlm. 77. 162 membatasi dan menyepakati eksistensi qirā‟ah sab‟ahyang dihimpun Abū Bakar Ah}mad bin Mūsā Al-Abbās ibn Mujāhid w. 935 sebagai bacaan-bacaan SIMPULAN Berdasarkan semua penjelasan di atas, ternyata sejarah pembukuan Al-Qur‟an tidak sesederhana yang diasumsikan umumnya umat Islam. Sebab dalam proses itu, ada problem transmisi dari tradisi lisan ke tradisi tulis. Secara umum, ada perbedaan esensial antara penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Nabi SAW dengan penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Abu Bakar, ataupun Umar bin Khaṭṭāb. Pada masa Nabi SAW, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi SAW, dengan menertibkan ayat-ayatnya dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Pada masa Abū Bakar, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al-Qur‟an yang ada ke dalam satu mushaf, dengan tertib surat-suratnya menurut urutan turunnya wahyu. Faktor pendorongnya adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan hilangnya sesuatu dari Al-Qur‟an, dikarenakan banyaknya para sahabat Disepakatinya qirā’ah sab’ah sebagai bacaan otentik ini, di samping karena memenuhi kriteria-kriteria di atas, juga pada faktanya qirā’ah sab’ah mencerminkan sistem-sistem pembacaan al-Qur’an yang populer dan berlaku di berbagai wilayah utama Islam. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 308. penghafal Al-Qur‟an yang gugur di medan perang. Pada masa Umar bin Khaṭṭāb, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk menyalin mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar, menjadi beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun suratnya, sebagaimana yang ada sekarang ini. Faktor pendorongnya adalah untuk menghilangkan perpecahan di kalangan umat Islam yang disebabkan perbedaan qirā‟at Al-Qur‟ān di antara mereka. Dari ketiga proses kesejarahan ini, mengantarkan mushaf Usmani kepada standardisasi dan stabilitasi, baik teks dan bacaannya, hingga tetap eksis sampai saat ini. Namun dari proses tersebut, juga tidak menutup kemungkinan meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya. Dalam konteks ini, barangkali relevan dimunculkannya gagasan tentang desakralisasi rasm Usmānī. Bukankah suatu bentuk “tulisan” merupakan produk budaya, yang berhak dikritisi sekaligus direvisi edit? Demikian, lontaran asumsi yang dikemukana para penggagas desakralisasi tersebut. E. DAFTAR PUSTAKA AF., Hasanuddin, Anatomi Al-Qur‟an Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur‟an, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Al-Bukhārī, Saḥīḥ Al-Bukhārī, juz 5, Beirūt Dār Al-Ṭibā‟at Al-Munirriyyat, Al-Ibyarī, Ibrāhīm, Pengenalan Sejarah Al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993 163 Kamāl, Aḥmad „Ādil, Ulūm Al-Qur‟ān, Maḥisīn, Muḥammad Sālim, Tārikh Al-Qur‟ān Al-Karīm, tp. , Mannā‟, Khalīl Al- Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī Ulūm Al-Qur’ān, tp., Al-Ṣāliḥ, Subḥi, Mabāḥiṡ Fī Ulūm Al-Qur’ān, Dār Al-Ilm Li Al-Malāyin, Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur‟an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2000 Al-Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān Fī „Ulūm Al-Qur’ān, Beirūt Dār Al-Fikr, Watt, W., Montgomery, Richard Bell Pengantar Al-Qur‟an, Jakarta INIS, 1998 Al-Zarqānī, Muḥammad Abd Al-Aẓīm, Manāhil Al-„Irfān Fī Ulūm Al-Qur’ān, Mesir Isā Al-Bābi Al-Ḥalabī, ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Perbedaan Qira"at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur"an, Jakarta PT. Raja Grafindo PersadaA F HasanuddinAnatomi Al-QurAF., Hasanuddin, Anatomi Al-Qur"an Perbedaan Qira"at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur"an, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995Sejarah dan Ulumul Qur"anM ShihabQuraishShihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur"an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2000Ulūm Al-Qur'ān, Beirūt Dār Al-FikrAl-SuyūṭīAl-Itqān JalāluddīnFīAl-Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān Fī "Ulūm Al-Qur'ān, Beirūt Dār Al-Fikr,
Jakarta - Pertanyaan seputar Alquran dan hikmahnya kerap dilontarkan sejumlah pembaca forum question and answer detikRamadan setiap tahunnya. Berikut sejumlah pertanyaan dan jawaban yang sudah dirangkum di halaman khusus yang mengulas hal tanya jawab seputar Alquran dan Bagaimana cara mencintai Alquran?Kita bisa mencintai Alquran kalau kita mengenal Alquran seperti peran Alquran bagi seorang Muslim, memahami isinya, dan lain-lain. Ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Faizah Ali Sibromailisi, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran2. Mengapa ayat Alquran sering sama dan berulang?Alquran bukanlah sebuah kitab ilmiah seperti kitab-kitab lainnya yang dikenal para ilmuwan. Ia adalah kitab dakwah yang turun berinteraksi dengan masyarakat. Karena itu, pengulangan perintah dan larangannya atau kisah-kisahnya menjadi sangat Anda dapat saja mengulang perintah atau kisah yang sama kepada seseorang tertentu, bila Anda mengetahui bahwa dia belum melaksanakannya secara sempurna atau menangkap pesan Anda? Ini kalau memang benar dugaan Anda bahwa ada pengulangan kisah di dalam kenyataannya tidak demikian. Misalnya, kisah Musa banyak sekali ditemukan dalam berbagai surat Alquran. Jika Anda mengamati redaksinya, Anda pasti menemukannya berbeda. Dan informasi yang diberikannya pun tidak sepenuhnya sama, terlebih lagi pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Sebab, dalam berbagai kisahnya, Alquran ingin menekankan pesan-pesan tertentu. Tidak jarang sebuah kisah mengandung sekian banyak pesan, tetapi tidak dapat ditampung dalam satu redaksi saja. Demikianlah di antara hikmah 'pengulangan' kisah-kisah dalam Alquran. Demikian, wallahu a'lam.M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran
???????? KALAU DITANYA OLEH ANAK / CUCU tentang AL-QUR'AN. MINIMAL DIJAWAB SEPERTI INI T Berapa jumlah Surah dlm Al-Qur'an? J 114 Surah T Berapa jumlah Juz dlm Al-Qur'an? J 30 Juz T Berapa jumlah Hizb dlm Al-Qur'an? J 60 Hizb T Berapa jumlah Ayat dlm Al-Qur'an? J 6666 Ayat T Berapa jumlah Kata dlm Al-Qur'an?, dan Berapa Jumlah Hurufnya? J 77437 Kata, atau 77439 Kata dan 320670 Huruf T Siapa Malaikat yang disebut dlm Al-Qur'an?, J Jibril, Mikail, Malik, Raqib, Atiid,Malakulmaut, Harut, Marut, Al-Hafazoh, Al-Kiromulkatibun HamalatulArsy, dll. T Berapa Jumlah Sajdah ayat Sujud dlm Al-Qur'an? J 15 Sajdah T Berapa Jumlah para Nabi yg disebut dlm Al-Qur'an? J 25 Nabi T Berapa Jumlah Surah Madaniyah dlm Al-Qur'an?, sebutkan. J 28 Surah, al-Baqoroh, al-Imron, al-Nisa" al-Maidah, al-Anfal, al-Tawbah, al-Ra'd, al-Haj, al-Nur, al-Ahzab, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, al-Rahman, al-Hadid, al-Mujadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Shaf, al-Jum'ah, al-Munafiqun, al-Taghabun, al-Thalaq, al-Tahrim, al-Insan, al-Bayinah, al-Zalzalah, al-Nashr. T Berapa Jumlah Surah Makiyah dlm Al-Qur'an? sebutkan. J 86 Surat, selain surah tersebut di atas. T Berapa Jumlah Surah yg dimulai dgn huruf dlm Al-Qur'an? J 29 Surah. T Apakah yg dimaksud dgn Surah Makiyyah?,sebutkan 10 saja. J Surah Makiyyah adalah Surah yg diturunkan di Makkah sebelum Hijrah, seperti al-An'am, al-Araf, al-Shaffat, al-Isra', al-Naml, al-Waqi'ah, al-Haqqah, al-Jin, al-Muzammil, al-Falaq. T Apakah yg dimaksud dgn Surah Madaniyyah? sebutkan lima saja? J Surah Madaniyah adalah Surah yg diturunkan di Madinah setelah Hijrah, seperti al-Baqarah, al-Imran, al-Anfal, al-Tawbah, al-Haj. T Siapakah nama para Nabi yg disebut dlm Al-Qur'an? J Adam, Nuh, Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, Musa, Isa, Ayub, Yunus, Harun, Dawud, Sulaiman, Yusuf, Zakaria, Yahya, Ilyas, Alyasa', Luth, Hud, Saleh, ZulKifli, Syuaib, Idris, Muhammad Saw. T Siapakah satu-satunya nama wanita solehah yg disebut namanya dlm Al-Qur'an? J Maryam binti Imran. T Siapakah satu-satunya nama Sahabat yg disebut namanya dlm Al-Qur'an? J Zaid bin Haritsah. Rujuk dlm surah Al Ahzab ayat 37. T Apakah ayat dlm Al-Qur'an yg pertama kalil turun? J surah al alaq ayat 1-5 إقرأ باسم ربك الذي خلق T Apakah ayat terakhir yg turun dlm Al-Qur'an? J ayat 3 surah al maidah أليوم أكملت لكم دينكم وأ تممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا T Apakah nama Surah yg tanpa Basmalah? J Surah at-Tawbah baro'ah. T Apakah nama Surah yg memiliki dua Basmalah? J Surah al-Naml. T Apakah yg disebut *surah al-mu'awidzatain 2 surah penjagaan? J Surah Al-Falaq & An-Naas. T Apakah nama Surah yg bernilai seperempat Al-Qur'an? J Surah al-Kafirun. T Apakah nama Surah yg bernilai sepertiga Al-Qur'an? J Surah al-Ikhlas T Apakah nama Surah yg menyelamatkan dari siksa Qubur? J Surah al-Mulk T Apakah nama Surah yg apabila dibaca pada hari Jum'at akan menerangi sepanjang pekan? J Surah al-Kahfi T Apakah ayat yg paling Agung dan dlm Surah apa? J Ayat Kursi, dlm Surah al-Baqarah ayat T Apakah nama Surah yg paling Agung dan berapa jumlah ayatnya? J Surah al-Fatihah, 7 ayat. T Apakah ayat yg paling bijak dan dlm surah apa? J Firman Allah Swt " Barang siapa yg melakukan kebaikan sebesar biji sawi ia akan lihat, Barang siapa melakukan kejahatan sebesar biji sawi ia akan lihat.. Surah al-Zalzalah ayat 7-8 T Apakah nama Surah yg ada dua sajdahnya? J Surah al-Haj ayat 18 dan ayat 77. T Pada Kata apakah pertengahan Al-Qur'an itu di Surah apa? ayat no Berapa? J وليتلطف Surah -Kahfi ayat No. 19 T Ayat apakah bila dibaca setiap habis Sholat Fardhu dpt mengantarkannya masuk ke dalam surga? J Ayat Kursi. T Ayat apakah yg diulang-ulang sbyk 31 kali dlm satu Surah dan di Surah apa? J Ayat فبأي آلاء ربكما تكذبانِ pada Surah al-Rahman. T Ayat apakah yg di ulang-ulang sbyk 10 kali dlm satu Surah dan di surah apa? Apakah ayat ini ada juga disebut dlm surah lainnya? Di Surah apa? J Ayat ويل يومئذ للمكذبين pada Surah al-Mursalat, juga ada dlm Surah al-Muthaffifiin ayat No. 10. T Apakah Ayat terpanjang dlm Al-Qur'an? pada Surah apa? Ayat berapa? Dan apa yang dibahas? J Ayat No 282 Surah al-Baqarah, membahas muamalah dg sesama manusia dlm keuangan& hutang piutang - Bermesraan lah dengan Al Qur'an sebagaimana mesranya kita dgn dompet & gadget kita selama ini,.. Berdekatan lah dgn al quran sedekat kita dengan pasangan,anak-anak dan teman-teman kita hari ini... Bersahabat lah dengan Nya...karena Al Qur'an tidak akan meninggalkan kita sbg sahabat ketika yg lain berpaling, dia akan datang sebagai syafaat bagi sahabat2 nya di akhirat kelak.. Yuk di share ke saudara kita yg lain agar jd investasi ilmu yg bermanfaat ???????????? ????
Origin is unreachable Error code 523 2023-06-16 090035 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d81dc886acf0a5c • Your IP • Performance & security by Cloudflare
pertanyaan sulit tentang pengumpulan al qur an